
Semakin ingin menjadi makhluk sosial, manusia malah semakin dipaksa buat jadi peramal. Ini semua berawal dari keinginan mendasar manusia yang dianggap menjadi kebutuhan, yaitu ingin dimengerti. Sayangnya, makin ke sini, term "ingin dimengerti" di sini artinya makin bias. Malahan, banyak yang beranggapan "dimengerti" berarti "diketahui inginnya tanpa ngomong."
Nggak bisa.
Manusia bukan cenayang.
Bahkan mungkin di keluarga Ki Joko Bodo aja tiap sarapan, anak-anaknya ditanya dulu mau sarapan apa, nggak bisa dengan mudah anaknya mau sarapan apa.
Memberi kado adalah salah satu contoh persoalan pelik (setidaknya buat gue) di kehidupan sebagai manusia. Banyak yang menganggap memberi kado adalah ajang yang menjadi tolok ukur sejauh mana seseorang mengerti orang lain. Semakin tepat kado tersebut dengan apa yang orang itu pengin, maka semakin dianggap pengertianlah dia.
[caption id="attachment_1111" align="alignnone" width="500"]

Ngasih kado itu rumit. Membingungkan. Banyak banget layer yang ada buat kita bisa ngasih kado yang sesuai sama kemauan seseorang. Misalnya, mau ngasih baju, banyak banget yang mesti dipikirin. Mulai dari bahannya cocok apa nggak, warnanya sesuai apa nggak, ukurannya pas apa nggak, bahkan sampai corak segaris aja bisa jadi masalah kalau nggak sesuai, yang dia pengin vertikal biar kelihatan kurus malah dibeliin yang horizontal dan hasilnya bikin keliatan gemuk.
Akhirnya, orang yang ngasih kado cuma bisa ngambil informasi-informasi yang selama ini dia tau dan dia dapetin dari orang-orang di sekitarnya, terus dirangkum dan dirumuskan jadi satu kesimpulan yaitu kado yang dibeli. Sayangnya, kemungkinan benarnya nggak akan 100%. Jadi, bisa dibilang ngasih kado itu sama aja kayak gambling. Berjudi semoga sesuatu yang kita beli itu tepat. Dan yang dikasih kado pun bertaruh dengan dia nggak pernah bilang penginnya apa, dia mengambil risiko untuk kecewa kalau sang pemberi ternyata ngasih kadonya nggak sesuai sama apa yang dia pengin selama ini.
Kenapa sih orang nggak ngomong aja penginnya dikasih apa pas ulang tahun? Biar gampang kan. Tapi kalo ditanya langsung ke orangnya, pasti jawabannya "Apa aja deh, gak usah repot-repot." Makin bingung. Atau jawabannya ngelunjak, "Mau rumah!"
Poin gue adalah, harusnya kita berhenti menganggap orang lain mengerti sepenuhnya diri kita. Karena bahkan kadang diri kita sendiri nggak ngerti apa kemauan kita. Just tell them what you need.
Kamu juga pasti kesulitan kan buat tau apa yang sebenernya jadi kemauan seseorang? Makanya sering ada celetukan, "Nggak ngerti lagi deh, apa sih maunya dia?"
Sudah pernah gue bilang, urusan sama manusia itu selalu rumit. Itu tadi baru soal kado. Belum lagi kalau masuk ke ranah perasaan.
[caption id="attachment_1112" align="alignnone" width="500"]

Barusan yang tentang kado baju aja layernya udah banyak banget dan ngebingungin, bayangin kalau mau ngambil hati seseorang, berapa layer coba? Makanan kesukaannya, warna favorit, lagu yang paling sering dia dengerin, film yang paling berkesan, kegiatan dia sehari-hari.
Bisa dibilang hal-hal tadi itu baru level satu, yang bisa didapat cukup dengan bertanya. Nah, kalau udah masuk level yang lebih tinggi lagi, misalnya ketika udah pendekatan jalan berapa lama, semuanya jadi makin rumit. Dan tuntutan untuk jadi peramal semakin tinggi. Semua komunikasi jadi dibentuk lebih rumit lagi, yaitu melalui kode-kode. Orang yang ngirim kode itu berharap kodenya bisa dibaca dan dimengerti sang target padahal sang target nggak pernah diajarin gimana cara baca kodenya.
Anggota pramuka aja bisa baca sandi morse kalo diajarin dulu. Bahkan yang udah diajarin aja kadang masih suka salah-salah baca kodenya. Semua orang yang mengirim kode, beranggapan target yang dikodein bisa mengerti, atau minimal berharap orang yang dikodein itu mengerti. Sebenarnya itu awal dari bunuh diri,
Menggantungkan ekspektasi setinggi-tingginya berati harus siap kecewa seberat-beratnya.
Sehingga, bisa sedikit gue simpulkan,
Mengirim kode sama saja bertaruh. Ada kemungkinan-kemungkinan: kodenya diterima dan dibalas, kodenya tidak diterima, atau kodenya diterima... tapi diabaikan.
Dan mungkin monolog gue yang berjudul "Sebuah Renungan tentang Kode" bisa memberikan pencerahan. Silakan diklik lalu didengar. Di-download juga bisa.
"Menggantungkan ekspektasi setinggi-tingginya berati harus siap kecewa seberat-beratnya."
ReplyDeleteGue setuju.
Setuju bang setuju huehehe
ReplyDeletepada zaman Perang Dunia, kode itu dibuat agar susah dipecahkan
ReplyDeleteDan sekarang, dibuat semudah mungkin (anggapan yang bikinnya), tapi tetap saja susah.
ReplyDeleteGak seru bang dunia ini tanpa kode #trustme
ReplyDeleteKalau menurutmu kode-kodean itu seru, berarti jangan ngeluh kalo kodenya nggak dipekain, atau bahkan diabaikan.
ReplyDeletePhoto no 2 kode tuh kek nya bang
ReplyDeleteHahaha. Tulisan lo keren banget, Yog.
ReplyDeleteEmang sekarang udah gak jaman kode-kode'an. Apalagi soal percintaan. Jangan sekali-kali memakai kode yang susah untuk dimengerti. Akhirnya, bakalan bingung sendiri. Dan............ JEDAR, kode gak kebaca, mission failed. Nah, kode itu cocoknya dipake untuk pembuatan nuklir. Biar gak ketahuan sama amerika dan para sekutunya. Contoh: Iran. (Lha, ini apa banget!)
JANGAN CUMA SETUJU! SHARE! :{p
ReplyDeleteTolong cc-in ke dia dong. *dia siapa?*
ReplyDeleteMat...
ReplyDeletegw suka bagian akhir dari "Sebuah Renungan tentang Kode" lu bang.. tujuan kode sih menurut gw sebenarnya buat bikin cwo2 penasaran gtu sama apa yg cewe rasain, karna kadang gak mudah buat ngungkapin apa yg kita mau. dan mending denger celetukan “Nggak ngerti lagi deh, apa sih maunya dia?” daripada "banyak maunya banget sih ini cwe". hehehe...
ReplyDeleteKayaknya kode itu udah jadi the art of relationship sih emang. Tapi ya begitulah. Ada risikonya seperti yang gue tulis di atas.
ReplyDeleteniatnya mau nulis AKU SAYANG KAMU, tapi pake kode morse. Tetep susah, meskipun pesannya gampang --"
ReplyDelete