Thursday, September 12, 2013

Menjadi Gaul Itu Melelahkan

[caption id="attachment_932" align="alignnone" width="307"]Foto: Time Foto: Time[/caption]

Untuk menjadi gaul zaman sekarang ternyata butuh effort lebih dibanding zaman-zaman sebelumnya. Teknologi, yang awalnya diciptain buat memudahkan manusia dalam segala urusannya, nyatanya sering malah makin bikin ribet.

Salah satu contoh favorit gue adalah, misalnya ketika kamu ngantre di kasir sebuah minimarket hendak membayar barang-barang belanjaan kamu. Di depan kamu ada seorang ibu yang belanja cukup banyak. Setelah semua belanjaan itu di-scan dengan mesin yang mengeluarkan cahaya merah –mirip Cyclops–, sang ibu harus membayarnya. Kemudian ia mengeluarkan dompetnya dan menarik kartu yang ada di dalamnya. Diserahkanlah kartu itu ke mbak kasir.



Dengan segala prosedurnya, termasuk memasukkan angka nominal jumlah belanjaan si ibu, memasukkan kode-kode tertentu, menggesekkan kartu ke tempat gesekan di dekat keyboard, bukan cuma sekali tapi beberapa kali karena kadang nggak sekali berhasil, terus ngegesekin lagi ke mesin yang bisa ngeluarin struknya itu, terus meminta sang ibu masukin PIN-nya.

Karena nggak boleh ngintip, kamu sebagai orang yang antre di belakangnya memalingkan pandangan sejenak, sambil ujung telapak kaki sesekali mengetuk-ketukkan dirinya ke lantai, dan mulut yang beberapa kali berdecak. Ck.

Setelah sang ibu memasukkan PIN-nya ke alat, keluarlah struk belanjaan. Dikira udah selesai, taunya masih dipencet lagi sama si mbak dan keluar struk lagi untuk disimpan.

Sang ibu selesai, dan keluar membawa belanjaannya. Giliran kamu maju ke kasir, naro belanjaan, di-scan, ngeluarin uang dari dompet, bayar, dikembaliin. Beres. Dua, bahkan tiga kali lebih cepat dari si ibu tadi yang menggunakan teknologi bernama ATM.
Teknologi, yang tadinya diciptakan untuk mempermudah dan mempercepat kadang justru malah bikin makin ribet.

[caption id="attachment_926" align="alignnone" width="500"]Foto: weheartit Foto: weheartit[/caption]

Begitu juga untuk menjadi gaul. Teknologi sekarang udah manjain banget anak-anak muda buat mendapatkan segala yang menunjang kegaulan mereka. Waktu kecil, ketika nggak tau tentang apa nama jurus Baja Hitam yang baru saja dikeluarin, gue akan berdebat sama teman-teman gue tentang nama jurus itu, meski kadang hasilnya salah semua karena semuanya salah denger.

Akhirnya memutuskan untuk nanya ke orang paling gue percaya waktu itu. Bukan Google, tapi bokap. Ya, waktu kecil gue menganggap ayah gue adalah orang paling cerdas di muka bumi. Beliau bisa menjawab apa pun pertanyaan gue. Bahkan beliau bisa menyulap apa pun jadi benar lagi, genteng bocor sampe kran yang mampet.

"Yah, nama jurus Baja Hitam yang kemaren aku tonton apa sih?"

"Oooh, itu tendangan maut."

Gue pun tersenyum sumringah. Nggak sabar segera memamerkan itu ke semua teman-teman gue.

Belakangan ini, gue Googling, dan kemudian baru sadar bahwa nama tendangan itu bukanlah "tendangan maut", tapi "tendangan tanpa bayangan". Bukannya kesal, malah justru gue semakin tersenyum.

Gue sedikit bertanya-tanya, kenapa gue bisa bahagia padahal jawaban yang gue dapatkan dari bokap tidaklah benar. Lalu gue ingat kembali, kuncinya: percaya. Waktu itu gue percaya apa kata bokap gue.
Ternyata kadang untuk bahagia, kita nggak harus melakukan hal yang benar-benar benar. Cukup percaya itu benar.

Kembali ke masalah gaul-gaulan. Didukung semua teknologi, mulai dari gadget, apps, sampe fitur-fitur yang disediain memudahkan banget buat kita untuk tau semua bahan demi memenuhi tuntutan pergaulan. Kehausan akan eksistensi pun semakin terdorong dengan adanya kemudahan itu.

Tapi layaknya hidup, seperti kepingan koin. Selalu punya dua sisi. Nggak bisa dipisahkan. Ternyata term "memudahkan" itu bisa menimbulkan "keribetan" juga.

Share. Satu kata itu yang membuat semuanya seolah menjadi penting. Semua orang berebut pengin berbagi. Ketika mendengar kata berbagi, pasti akan terkesan positif. Namun apakah yang dibagi itu cukup penting?

Sayangnya, yang dibagi itu seringnya seperti sekadar laporan aja. Lagi di mana, lagi sama siapa, lagi makan apa, dan sebagainya. Oke, anggaplah itu penting. Tapi kembali ke tujuan teknologi yang seharusnya memudahkan orang, menurut gue zaman sekarang justru jadi bikin sulit.

funny-people-taking-photos-food

Untuk gaul, orang harus beli gadget yang mahal, harus belajar make social media yang (dianggap) keren (pada zamannya). Belum lagi, sekarang ditambah apa-apa harus di-update. Sulit, ketika kamu mau makan, harus difoto dulu, ketika lagi mau ke mana harus di-update, ketika habis ke mana harus nge-upload foto-fotonya. Ditambah, harus ngirim-ngirim foto teman-teman juga, kalo nggak, akan diteror ditagih terus-terusan.

Buat eksis juga, ada peraturan nggak tertulis harus ngikutin –bahkan harus ikut ngomongin– hal-hal up-to-date yang lagi terjadi. Misalnya, waktu ada kerusuhan di Mesir, gue mendapati beberapa orang sibuk berdoa dan ngetwit tentang Mesir itu. Padahal, di sisi lain, korban jiwa yang jatuh pada periode mudik lebaran nggak kalah banyak. Lebih memikirkan yang jauh daripada yang dekat.

Lebih ironisnya lagi, waktu itu kalau ada orang yang nggak ngetwit tentang Mesir maka akan DIANGGAP, sekali lagi DIANGGAP nggak peduli. Padahal, orang yang nggak ngetwit tentang musibah itu bukan berarti dia nggak peduli. Bisa aja dia memang nggak ngetwit, tapi dia diam-diam sering mendoakan sodara-sodara baik yang jatuh korban saat mudik dan yang gara-gara konflik di Mesir. Who knows?
Nge-share berarti peduli. It's okay. Tapi nggak nge-share bukan berarti nggak peduli.

Berhubungan sama kegaulan dan eksistensi, semakin orang ngomongin yang up-to-date, maka semakin merasa gaullah dia. Makanya setiap apa yang rame, pasti langsung diomongin. Contoh paling gampangnya adalah fenomena Vicky Prasetyo. Semua orang berlomba-lomba ngomongin dia dan bikin bercandaan tentang dia.

[caption id="attachment_928" align="alignnone" width="540"]zaskiasisasi Foto: nyunyu.com[/caption]

Sampe nanti beberapa waktu kemudian, akan ada beberapa orang yang ngomongin orang yang ngebecandain Vicky karena dianggap telat, basi, dan norak. Ngomongin-ception. Mirip seperti kasus tulisan alay. Pada masanya, itu akan terlihat keren, tapi seiring berjalannya waktu itu akan jadi basi.

Karena cepet basi itu, makanya sekarang untuk gaul orang harus cepet-cepetan bahas sesuatu yang up-to-date. Semakin duluan dia ngomongin, semakin gaul. Dan untuk kecepatan itu, dibutuhkan usaha yang lebih, dan itu melelahkan. Ya, untuk menjadi gaul itu melelahkan.

Melelahkan karena kamu nggak cuma harus punya banyak akun social media yang lagi in, mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, Path, LINE, dan yang terbaru –dan salah satu yang spamming– ask.fm. Kamu harus meng-update-nya satu persatu, saking banyaknya bahkan banyak di antara kamu yang bingung harus nge-update yang mana.

Belum lagi bahasan yang harus diomongin. Saking banyaknya hal-hal rame yang bisa diomongin, maka kamu pun bingung mau ngomonin yang mana. Akibatnya, semuanya diomongin, dan nggak ada yang tuntas satu pun. Nggak fokus. Belum selesai ngomongin yang ini, udah ada yang baru. Belum selesai namatin Candy Crush, udah ada Pokopang. Akhirnya, itu menimbulkan Attention Deficit Hyperactivity Disorder, yaitu kesulitan untuk fokus.

Terlalu banyak yang harus diurusi, terlalu banyak yang harus diperhatikan. Lagi ngobrol sama temen, eh tapi ada chat masuk harus dibales, ada email kerjaan harus di-follow up, ada gagasan di otak yang harus di-tweet, ada momen bagus yang harus difoto. Tapi terlalu sedikit waktu dan kesempatan yang dipunya.

Akhirnya manusia di depan kita yang sering disebut "teman", "orang tua", "pacar" malah diabaikan.

Dan kita semua tau seperti apa rasanya diabaikan.
Kadang, menjadi kuno itu lebih baik.

Menjadi kuno kadang terasa lebih baik. Seperti senyum dan mengacungkan jempol ketimbang menekan tombol "like" dengan wajah tanpa ekspresi, menyentuh permukaan kulit orang terdekat, atau sesederhana mendengar alunan gelombang suara tawa seseorang yang disuka.

Gue rasa memang sudah saatnya (sebenernya dari dulu sih) kita harus punya literasi media yang lebih kuat lagi. Bisa memilah dan memilih prioritas. Mana yang harus didahulukan? Mana yang lebih berarti? Hubungan sesama manusia secara nyata, atau dengan objek virtual di dunia maya.

Think about it.

Mungkin video ini bisa ngasih kamu pencerahan.

http://www.youtube.com/watch?v=OINa46HeWg8&width=250&height=100

21 comments:

  1. akhirnys ada jg yg sepemikiran kirain cuman gw aja manusia yg lebih ngutamain dunia nyata timbang dunia maya :D

    ReplyDelete
  2. setuju bro, teknologi emang merubah segalanya. jadi kangen jaman 90-an di mana teknologi blm berkembang, jadi interaksi di dunia nyata lebih banyak gak kayak skrg sedikit2 ngandelin gadget..

    ReplyDelete
  3. Setuju bang.. Aku juga lebih seneng ketemu langsung, lebih dapet momennya

    ReplyDelete
  4. Ini koreksi dan intropeksi untuk diri sendiri nih maksudnya? Padahal sama-sama aja.

    ReplyDelete
  5. Postingannya JUARA bang!! Keren nih bahasannya...

    ReplyDelete
  6. Memang. Kan di akhir kalimat pake kata "kita".

    ReplyDelete
  7. first thing i want to say about this is, true dat! karena sampe sekarang pun di beberapa ruang lingkup gue masih dianggap "outsider" karena nggak "latah" untuk menjadi gaul, makanya kadang bingung juga mau ngomongin apa biar bisa klik. Somehow, dengan sesekali menjadi "kuno" kita bakal ngasih warna sendiri dan bisa lebih peka sama orang lain, literally.
    salam kenal :)

    ReplyDelete
  8. Show this post to your friends.

    ReplyDelete
  9. Post ini benar juga sih...terkadang malah teknologi yang membuat kita antisosial,menjauh dari orang terdekat dan mendekat kepada yang jauh,lalu teknologi juga bisa bikin awkward moment ya...ketika di social media terlalu banyak bicara malah bingung mau ngobrol apa di dunja nyata

    ReplyDelete
  10. njiiir bang oka, tulisan lo bener banget. gue setuju banget bang sama lo :)
    kalau menurut aku sih cukup jadi diri sendiri aja bang, gak perlu gaul yang penting bisa bikin orang disekitar kita tersenyum :)

    ReplyDelete
  11. REAL banget bang. Sejalan sama pikiran gue. Tapi gue orangnya gak begitu peduli, be my self aja gitu. :))

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah udah banyak yang nyadar, gue nangis bacanya

    ReplyDelete
  13. Untungnya, meskipun keseharian gue gag gaul2 banget, bahkan terkesan kudet, tapi muka gue yang 'udah gaul dari sononya' ini membuat gue tetep dikira gaul :p

    ReplyDelete
  14. Nah, kayak gini nih post yg beres!
    Kadang yg miris, yg gak punya gadget atau akun-akun sosmed pada zamannya justru agak didiskriminasi. Dan yang pedih adalah anak kecil zaman sekarang jadi pada jarang mau interaksi karna lingkungan yang secara langsung ngajar mereka untuk memanfaatkan gadget di mana pun dan kapan pun.
    Terakhir, banyak yang sampe stress kalo lagi jalan-jalan dan gak dapet sinyal. Alasannya gak bisa ngabarin orang, padahal si 'pacar', 'keluarga', dan/atau 'sahabat' mereka ada ikut jalan-jalan bareng. :"

    ReplyDelete
  15. gue setuju banget sama postingan ini bang, kadang menjadi kuno itu lebih baik ketimbang menjadi sesorang yang disebut gaul tapi terkesan memaksa

    ReplyDelete
  16. Sudah tertulis di Al-quran bahwasannya akan datang masa seperti ini dan akan membuat manusia teralihkan oleh semua yang diperintahkan oleh Allah . Dan makhluk yang diperintahkan itu memang memiliki kekuatan yang lebih dibanding manusia,karena diakhir jaman makhluk yg kita sebut dengan " D " ini akan mengaku sebagai Nabi. Dan itulah akhir dunia .

    ReplyDelete
  17. aku punya lho temen yang super-update gitu .-. Bzzzz banget :o

    ReplyDelete
  18. S0rRy, 4LaY t3tAp eKs1S.... ngoahahahha

    ReplyDelete
  19. Iyya bener banget. Sekarang klo ketemu orang jauh udah ga bisa pangling lagi. Karena mungkin selama jauh sering ngeliat kegiatannya lewat media sosial.

    ReplyDelete
  20. ironis, remaja sekarang justru bangga akan ke-antisosialannya ._.

    ReplyDelete